Senin, 07 Desember 2020

Pulang dan Pergi


Tidak terasa waktu terus berlalu sejak Etta tidak sakit lagi. Masih jelas diingatanku tentang semua hal kecil selama membersamai Etta yang memang tidak lama. Etta tidak berubah walau merasa sakit tidak ingin merepotkan anak-anaknya

Tahun ini adalah Romadhon terakhir bersama Etta, hingga detik-detik terakhir kepergiannya... Etta masih sempat mengkhawatirkan anak-anaknya. Pastinya tetap dengan caranya yang kadang membuatku berkeluh dalam hati "aahhh Ettaaa" karena Etta selalu sama tidak ingin anaknya sakit. Etta memang berbeda dalam memberi kami cinta dia mencintai kami dengan caranya. Alhamdulillah kini aku akhirnya baru benar-benar paham pesan dari kak Azizah bahwa "cinta dan cara mencintai adalah dua hal yang berbeda" seperti inikah memang? Etta mencitai kami dengan diamnya dan dengan ketegasannya yang kadang membuatku takut untuk sekedar berbicara apalagi memeluknya walau rasanya sangat ingin. Etta... bahkan saat duduk di sampingmu kala itu aku tetap merindukanmu terlalu tinggi dan kuat tembok antara kita yang tidak pernah bisa berhasil ku robohkan. Aku gagal lagi dan menyesali semuanya. Jika teringat semua perasaan malam itu, aku hanya bisa berteriak dalam hati “Etta, akankah aku bisa memelukmu di surga kelak? Sambil berkata aku menyesali semua dan aku meminta maaf kepadamu karena sikapku yang kadang dingin saat kau beri nasehat karena sikapku yang selalu memilih masuk kamar, menangis kemudian memberontak padamu saat kau menegurku.” Etta kau pasti memaafkanku. Etta selalu bilang Etta memaafkan kami bahkan sebelum kami meminta maaf.

Momen Idul Fitri yang tidak seperti biasanya pun hadir selain karena Covid-19 yang membuatku akhirnya harus sholat sendiri di masjid karena ternyata mereka mulai lebih awal tanpa ku ketahui pun momen mencium tangan Etta di hari kemenangan itu harus ku lakukan di rumah sakit ruang isolasi pula (R.S. M. Yusuf, Wirabuana, Diponegoro II). Aku sempat geleng-geleng kepala “Ya Alloh kami benar-benar masih di sini. Berkumpul bersama Etta di saat Etta menahan rasa sakitnya” apakah Etta mengeluh? Tentu tidak. Malam Idul Fitri sebelumnya, Etta menyampaikan wasiatnya kepada kakak kedua kami karena merasa sudah tidak kuat dengan sakitnya Etta kesulitan tidur di saat malam hari, makan dan minum rasanya susah sekali. Etta kehilangan semangat karena tidak bersedia dioperasi oleh dokter beberapa kali aku juga ikut memberi penjelasan walau terbata karena khawatir Etta marah tapi tetap saja karena memang tidak pandai bicara dengannya Etta tetap merasa hilang harapan. Rasa sakitnya semakin menjadi dan aku hanya bisa menghela nafas melihatnya.

Sepanjang bulan Romadhon kemarin doaku selalu tentang Etta. Doa yang ku panjatkan pun sangat hati-hati. Kenapa? Karena aku tidak ingin doaku menjadi sebab Etta lebih tersiksa. Setiap sujud, setiap selesai sholat, setiap hujan turun, setiap malam bahkan hampir di setiap keadaan dengan berurai air mata lirih juga terkadang sambil meronta ku munajatkan doa untuknya "Ya Alloh jadikanlah sakitnya Etta sebagai penggugur dosa-dosanya berilah Etta kesabaran dan kekuatan menghadapi sakitnya" sesekali ketika aku dalam kesakitan yang lebih dalam rasanya aku berdoa "Ya Alloh sehatkanlah Etta, ...." kenapa sesekali? Aku sedang menyiapkan diriku waktu itu. Semua bisa saja terjadi walau aku sangat tidak ingin. Aku harus kuat dengan apapun yang terjadi di depan bahkan di saat aku tidak siap sekali pun aku harus tetap kuat. Waktu itu, karena terlalu sakit aku tidak ingin bercerita pada siapapun semua ku simpan sendiri sangat rapat bahkan jika ada yang bertanya aku hanya bisa meminta didoakan. Itu saja. Aku tidak ingin ditanya dan tidak ingin diberi perhatian dalam bentuk apapun.

Jumat, 29 Mei 2020
Sore yang tidak akan pernah ku rindukan. Aku mulai marah mendengar pembicaraan mereka. Aku menutup telinga, menghindar dan meminta mereka berhenti dengan omongan itu. Aku tidak bisa mendengar apapun lagi air mata yang selalu ku tahan di depan Etta seketika keluar sendiri. Seorang perempuan paruh baya menatapku dan berkata “keluarkan nak.. jangan ditahan nanti jadi penyakit” aku luluh air mataku keluar begitu banyak aku keluar dari kamar seperti biasa masuk ke kamar mandi mushollah, menyalakan keran, menutup pintu dan menangis sekencang-kencangnya. Hari itu dokter yang biasa memeriksa Etta pun nampak aneh (dr. Haryadi namanya dokter yang sangat baik, sampai akhir aku akan selalu berterimakasih) beliau memeriksa Etta sangat lama bahkan dua kali menghampiri kami seperti menunjukkan kekhawatiran. Wajah dokter itu terus mengganggu pikiranku. Fix, malam itu ku putuskan tidak pulang ke rumah tetap tinggal menemani Etta. Malam itu langit sangat kejam nampak cerah namun bulan terlihat samar, seketika hujan turun dengan ritme yang berubah-ubah karenanya sampai sekarang aku bahkan belum bisa mendamaikan perasaanku ketika bertemu bulan di malam hari.

Sabtu, 30 Mei 2020
Sejak dini hari Etta selalu menanyakan hal yang sama “Arianti, jam berapa sekarang?” pertanyaan itu berulang aku hanya menjawab apa adanya yang terlihat di layar HP kemudian Etta akan berkata “Ahh masih lama” setiap kali Etta bertanya semakin hatiku merasa takut dan sakit. Aku mulai menerka tapi aku juga menolak terkaan. Kakak ku pun mulai terlihat pasrah. Etta terus bertanya dengan gusar “Di mana kakakmu” ku jawab “Masih dalam perjalanan pulang, terlambat dapat kapal” Etta semakin cemas dan berkata “Ahh tidak sempat” aku kembali menahan tangis. Aku harus menahan semuanya aku sudah berjanji harus selalu kuat di hadapan Etta. Etta harus tahu bahwa aku bisa bertahan dengan baik. Etta memintaku membuka alat bantu pernafasannya, aku menolak tapi Etta bilang benda itu menyiksanya karena tidak tega aku benar-benar membukanya setelah itu tidak lama kemudian dia memanggilku lagi “Arianti, jarum ini menyiksa minta perawat membuka infusnya” aku harus bagaimana aku tidak ingin tapi bahkan kakakku pun seperti tidak bisa berbuat apa-apa. Aku berjalan menuju ruang perawat, membangunkan salah satu di antara mereka. Perawat berkata “dek ini susah loh kalau mau dipasang lagi infusnya... betul-betul tidak bisa ditahan?” pertanyaan perawat kusampaikan dengan pelan aku berbisik “Etta sakit?”  Etta menjawab sambil menunjukkan lengannya yang meghitam dan hampir penuh dengan bekas suntikan “Sakit semua” aku tidak sampai hati menolak permintaannya. Semua keinginan Etta harus ku turuti apapun itu semuanya aku dan kakak iyyakan. Aku hanya bisa menggenggam tangan Etta berharap setidaknya ada yang bisa ku lakukan untuk membantunya. Masih jelas sekali dalam ingatanku setelah infusnya dibuka Etta berkata sambil memperlihatkan lengannya "Arianti, ini ini ini semua menyiksa setiap kali ditusuk sakit semua" aku bisa apa? hanya mengangguk dan menggenggam tangannya. Subuh, suara adzan terdengar tapi aku tidak langsung bergegas ke mushollah. Aku tidak ingin ada yang melihatku. Aku ingin sendiri aku terlalu malu ada yang melihatku terpuruk tidak berdaya. Aku juga terganggu dengan tatapan kasihan orang-orang yang tidak akan pernah bisa mengerti suasana hatiku dan rasa sakitku hari itu. Benar, langit tidak bersahabat saat aku menatap ke atas bulan masih nampak samar.

Aku sudah di rumah dan menjadi semakin bingung. Etta minta dikeluarkan tapi aku tidak ingin pun kakak tertuaku terus menelpon dan berkata “jangan keluarkan Etta dari rumah sakit. Tunggu aku pulang nanti kita bawa ke Makassar” tapi Etta bilang sudah tidak bisa. Kakak-kakak ku yang lain pun tidak ada yang mau tapi Etta bagaimana? Beberapa kerabat meminta kami menurutinya aku tahu persis pikirannya dalam hati aku berkata “ada apa dengan kalian? Kenapa seperti ini” tiba-tiba aku mengingat dokter itu. Dia dokter yang baik dan lembut Etta biasanya mendengarkan kata-katanya ku telpon kakakku dan memintanya bicara dengan dokter itu hatiku sedikit lega aku merasa optimis Etta akan tetap tinggal mendengarkan kata dokter itu tapi itu hanya espektasiku saja. Sayangnya di hari sabtu dia tidak datang harapanku sirna aku merasa sangat kecewa aahh benar-benar berharaplah hanya pada Allah. Kami menyerah, surat pernyataan pun telah ditandatangani. Etta akhirnya pulang ke rumah sesuai permintaan Etta. Beberapa keluarga tiba-tiba datang ahh paman yang sering dibicarakan Etta belakangan ini datang berkunjung Etta kembali mengulangi wasiatnya. Akhirnya sore itu sepertinya menjelang maghrib kami harus ikhlas kami duduk di sampingnya menuntunnya mengucapkan kalimat syahadat dan mengantarnya dengan surah yasin. Etta benar-benar tidak sakit lagi. Kakak tertua kami dalam perjalanan pulang masih di kapal kami merasa sangat sakit namun sakitnya mungkin yang paling dalam di antara kami.

Ahad, 31 Mei 2020
Dini hari kami semua berkumpul. Tidak ada jarak di antara kami. Untuk pertama kalinya kami berkumpul menangis dan berpelukan sangat erat. Malam yang dinginnya menusuk. Malam yang rasanya tidak ingin ku akhiri namun waktu berjalan sangat cepat. Malam terakhir Etta masih di sampingku. Ternyata aku tidak sekuat itu.

Setelah kejadian ini babak baru dalam hidupku benar-benar dimulai. Aku seperti kehilangan banyak hal dan lebih nampak seperti orang kebingungan. Bahkan hal kecil bisa menjadi besar dan menggangguku. Sebulan, hari-hari yang ku lalui setelah Etta meninggal terlalu banyak. Semua terjadi bersamaan dan dari berbagai arah. Aku mulai kewalahan tapi Allah masih memberiku kekuatan dan sedikit demi sedikit aku mulai belajar mengendalikan kembali perasaanku. Tentang ikhlas, ini benar-benar proses yang panjang.

“Dalam banyak hal kita tidak bisa memilih waktu terbaik. Saat sesuatu itu datang, kita hanya bisa bersiap menghadapinya” (Tere Liye)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar