Tidak
terasa waktu terus berlalu sejak Etta tidak sakit lagi. Masih jelas diingatanku
tentang semua hal kecil selama membersamai Etta yang memang tidak lama. Etta
tidak berubah walau merasa sakit tidak ingin merepotkan anak-anaknya
Tahun
ini adalah Romadhon terakhir bersama Etta, hingga detik-detik terakhir
kepergiannya... Etta masih sempat mengkhawatirkan anak-anaknya. Pastinya tetap
dengan caranya yang kadang membuatku berkeluh dalam hati "aahhh
Ettaaa" karena Etta selalu sama tidak ingin anaknya sakit. Etta memang
berbeda dalam memberi kami cinta dia mencintai kami dengan caranya. Alhamdulillah
kini aku akhirnya baru benar-benar paham pesan dari kak Azizah bahwa
"cinta dan cara mencintai adalah dua hal yang berbeda" seperti inikah
memang? Etta mencitai kami dengan diamnya dan dengan ketegasannya yang kadang
membuatku takut untuk sekedar berbicara apalagi memeluknya walau rasanya sangat
ingin. Etta... bahkan saat duduk di sampingmu kala itu aku tetap merindukanmu
terlalu tinggi dan kuat tembok antara kita yang tidak pernah bisa berhasil ku
robohkan. Aku gagal lagi dan menyesali semuanya. Jika teringat semua perasaan
malam itu, aku hanya bisa berteriak dalam hati “Etta, akankah aku bisa memelukmu di surga
kelak? Sambil berkata aku menyesali semua dan aku meminta maaf kepadamu karena
sikapku yang kadang dingin saat kau beri nasehat karena sikapku yang selalu
memilih masuk kamar, menangis kemudian memberontak padamu saat kau menegurku.”
Etta kau pasti memaafkanku. Etta selalu bilang Etta memaafkan kami bahkan
sebelum kami meminta maaf.
Momen
Idul Fitri yang tidak seperti biasanya pun hadir selain karena Covid-19 yang
membuatku akhirnya harus sholat sendiri di masjid karena ternyata mereka mulai
lebih awal tanpa ku ketahui pun momen mencium tangan Etta di hari kemenangan
itu harus ku lakukan di rumah sakit ruang isolasi pula (R.S. M. Yusuf, Wirabuana,
Diponegoro II). Aku sempat geleng-geleng kepala “Ya Alloh kami benar-benar
masih di sini. Berkumpul bersama Etta di saat Etta menahan rasa sakitnya”
apakah Etta mengeluh? Tentu tidak. Malam Idul Fitri sebelumnya, Etta
menyampaikan wasiatnya kepada kakak kedua kami karena merasa sudah tidak kuat
dengan sakitnya Etta kesulitan tidur di saat malam hari, makan dan minum
rasanya susah sekali. Etta kehilangan semangat karena tidak bersedia dioperasi
oleh dokter beberapa kali aku juga ikut memberi penjelasan walau terbata karena
khawatir Etta marah tapi tetap saja karena memang tidak pandai bicara dengannya
Etta tetap merasa hilang harapan. Rasa sakitnya semakin menjadi dan aku hanya
bisa menghela nafas melihatnya.
Sepanjang
bulan Romadhon kemarin doaku selalu tentang Etta. Doa yang ku panjatkan pun
sangat hati-hati. Kenapa? Karena aku tidak ingin doaku menjadi sebab Etta lebih
tersiksa. Setiap sujud, setiap selesai sholat, setiap hujan turun, setiap malam
bahkan hampir di setiap keadaan dengan berurai air mata lirih juga terkadang
sambil meronta ku munajatkan doa untuknya "Ya Alloh jadikanlah sakitnya
Etta sebagai penggugur dosa-dosanya berilah Etta kesabaran dan kekuatan
menghadapi sakitnya" sesekali ketika aku dalam kesakitan yang lebih dalam
rasanya aku berdoa "Ya Alloh sehatkanlah Etta, ...." kenapa sesekali?
Aku sedang menyiapkan diriku waktu itu. Semua bisa saja terjadi walau aku
sangat tidak ingin. Aku harus kuat dengan apapun yang terjadi di depan bahkan
di saat aku tidak siap sekali pun aku harus tetap kuat. Waktu itu, karena
terlalu sakit aku tidak ingin bercerita pada siapapun semua ku simpan sendiri
sangat rapat bahkan jika ada yang bertanya aku hanya bisa meminta didoakan. Itu
saja. Aku tidak ingin ditanya dan tidak ingin diberi perhatian dalam bentuk apapun.
Jumat,
29 Mei 2020
Sore
yang tidak akan pernah ku rindukan. Aku mulai marah mendengar pembicaraan
mereka. Aku menutup telinga, menghindar dan meminta mereka berhenti dengan
omongan itu. Aku tidak bisa mendengar apapun lagi air mata yang selalu ku tahan
di depan Etta seketika keluar sendiri. Seorang perempuan paruh baya menatapku
dan berkata “keluarkan nak.. jangan ditahan nanti jadi penyakit” aku luluh air
mataku keluar begitu banyak aku keluar dari kamar seperti biasa masuk ke kamar
mandi mushollah, menyalakan keran, menutup pintu dan menangis
sekencang-kencangnya. Hari itu dokter yang biasa memeriksa Etta pun nampak aneh
(dr. Haryadi namanya dokter yang sangat baik, sampai akhir aku akan selalu
berterimakasih) beliau memeriksa Etta sangat lama bahkan dua kali menghampiri
kami seperti menunjukkan kekhawatiran. Wajah dokter itu terus mengganggu
pikiranku. Fix, malam itu ku putuskan tidak pulang ke rumah tetap tinggal
menemani Etta. Malam itu langit sangat kejam nampak cerah namun bulan terlihat
samar, seketika hujan turun dengan ritme yang berubah-ubah karenanya sampai
sekarang aku bahkan belum bisa mendamaikan perasaanku ketika bertemu bulan di
malam hari.
Sabtu,
30 Mei 2020
Sejak
dini hari Etta selalu menanyakan hal yang sama “Arianti, jam berapa sekarang?”
pertanyaan itu berulang aku hanya menjawab apa adanya yang terlihat di layar HP
kemudian Etta akan berkata “Ahh masih lama” setiap kali Etta bertanya semakin
hatiku merasa takut dan sakit. Aku mulai menerka tapi aku juga menolak terkaan.
Kakak ku pun mulai terlihat pasrah. Etta terus bertanya dengan gusar “Di mana
kakakmu” ku jawab “Masih dalam perjalanan pulang, terlambat dapat kapal” Etta
semakin cemas dan berkata “Ahh tidak sempat” aku kembali menahan tangis. Aku
harus menahan semuanya aku sudah berjanji harus selalu kuat di hadapan Etta.
Etta harus tahu bahwa aku bisa bertahan dengan baik. Etta memintaku membuka
alat bantu pernafasannya, aku menolak tapi Etta bilang benda itu menyiksanya
karena tidak tega aku benar-benar membukanya setelah itu tidak lama kemudian
dia memanggilku lagi “Arianti, jarum ini menyiksa minta perawat membuka
infusnya” aku harus bagaimana aku tidak ingin tapi bahkan kakakku pun seperti
tidak bisa berbuat apa-apa. Aku berjalan menuju ruang perawat, membangunkan
salah satu di antara mereka. Perawat berkata “dek ini susah loh kalau mau
dipasang lagi infusnya... betul-betul tidak bisa ditahan?” pertanyaan perawat
kusampaikan dengan pelan aku berbisik “Etta sakit?” Etta menjawab sambil menunjukkan lengannya
yang meghitam dan hampir penuh dengan bekas suntikan “Sakit semua” aku tidak
sampai hati menolak permintaannya. Semua keinginan Etta harus ku turuti apapun
itu semuanya aku dan kakak iyyakan. Aku hanya bisa menggenggam tangan Etta
berharap setidaknya ada yang bisa ku lakukan untuk membantunya. Masih jelas sekali dalam ingatanku setelah infusnya dibuka Etta berkata sambil memperlihatkan lengannya "Arianti, ini ini ini semua menyiksa setiap kali ditusuk sakit semua" aku bisa apa? hanya mengangguk dan menggenggam tangannya. Subuh, suara
adzan terdengar tapi aku tidak langsung bergegas ke mushollah. Aku tidak ingin
ada yang melihatku. Aku ingin sendiri aku terlalu malu ada yang melihatku
terpuruk tidak berdaya. Aku juga terganggu dengan tatapan kasihan orang-orang
yang tidak akan pernah bisa mengerti suasana hatiku dan rasa sakitku hari itu.
Benar, langit tidak bersahabat saat aku menatap ke atas bulan masih nampak
samar.
Aku
sudah di rumah dan menjadi semakin bingung. Etta minta dikeluarkan tapi aku
tidak ingin pun kakak tertuaku terus menelpon dan berkata “jangan keluarkan
Etta dari rumah sakit. Tunggu aku pulang nanti kita bawa ke Makassar” tapi Etta
bilang sudah tidak bisa. Kakak-kakak ku yang lain pun tidak ada yang mau tapi
Etta bagaimana? Beberapa kerabat meminta kami menurutinya aku tahu persis
pikirannya dalam hati aku berkata “ada apa dengan kalian? Kenapa seperti ini”
tiba-tiba aku mengingat dokter itu. Dia dokter yang baik dan lembut Etta
biasanya mendengarkan kata-katanya ku telpon kakakku dan memintanya bicara
dengan dokter itu hatiku sedikit lega aku merasa optimis Etta akan tetap
tinggal mendengarkan kata dokter itu tapi itu hanya espektasiku saja. Sayangnya
di hari sabtu dia tidak datang harapanku sirna aku merasa sangat kecewa aahh
benar-benar berharaplah hanya pada Allah. Kami menyerah, surat pernyataan pun
telah ditandatangani. Etta akhirnya pulang ke rumah sesuai permintaan Etta.
Beberapa keluarga tiba-tiba datang ahh paman yang sering dibicarakan Etta
belakangan ini datang berkunjung Etta kembali mengulangi wasiatnya. Akhirnya
sore itu sepertinya menjelang maghrib kami harus ikhlas kami duduk di
sampingnya menuntunnya mengucapkan kalimat syahadat dan mengantarnya dengan
surah yasin. Etta benar-benar tidak
sakit lagi. Kakak tertua kami dalam perjalanan pulang masih di kapal kami
merasa sangat sakit namun sakitnya mungkin yang paling dalam di antara kami.
Ahad,
31 Mei 2020
Dini
hari kami semua berkumpul. Tidak ada jarak di antara kami. Untuk pertama
kalinya kami berkumpul menangis dan berpelukan sangat erat. Malam yang
dinginnya menusuk. Malam yang rasanya tidak ingin ku akhiri namun waktu
berjalan sangat cepat. Malam terakhir Etta masih di sampingku. Ternyata aku
tidak sekuat itu.
Setelah
kejadian ini babak baru dalam hidupku benar-benar dimulai. Aku seperti
kehilangan banyak hal dan lebih nampak seperti orang kebingungan. Bahkan hal
kecil bisa menjadi besar dan menggangguku. Sebulan, hari-hari yang ku lalui
setelah Etta meninggal terlalu banyak. Semua terjadi bersamaan dan dari
berbagai arah. Aku mulai kewalahan tapi Allah masih memberiku kekuatan dan
sedikit demi sedikit aku mulai belajar mengendalikan kembali perasaanku. Tentang ikhlas, ini benar-benar proses yang panjang.
“Dalam
banyak hal kita tidak bisa memilih waktu terbaik. Saat sesuatu itu datang, kita
hanya bisa bersiap menghadapinya” (Tere Liye)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar